Jumat, 25 Desember 2009

Mendidik Anak adalah Seni

Mendidik mempunyai seni tersendiri. Bukan saja diperlukan kepintaran seorang pendidik tetapi juga membuat strategi agar peserta didik, termasuk anak dirumah, berhasil dalam belajar sesuatu. Berbagai Methode Revolusi Belajar yang ditemukan sekarang membuat pendidik tertantang untuk melakukan perubahan dalam Methode maupun Strategi dalam pengajarannya agar pendidikan berhasil.

Methode tersebut adalah:
  1. Quantum Learning
  2. Quantum Teaching
  3. Student Active Learning
  4. Contextual Learning
  5. Dan lain-lain
Semua Methode tersebut sudah banyak bukunya beredar dan Guru sebagai pendidik bersemangat untuk mengembangkan diri dalam mendalami Methode-methode mengajar yang ada agar selalu maju dan berkembang. Baca selengkapnya ...

Senin, 01 Juni 2009

Pendidikan Moral Anak Tanpa Kekerasan


Murid perlu dididik untuk memahami bahwa setiap tindakan dan prilakunya ada konsekwensi yang haru ia terima. Konsekwensi yang diajarkan pada murid-murid guna untuk merubah perilaku buruk anak didik dan sebagai alternatif pengajaran yang benar untuk menghindari tindak kekerasan pada anak. Pemahaman akan konsekwensi bagi anak hanya didapat dengan cara menegakkan kedisiplinan, pemberian konsekwensi, bukan hukuman, dan pemberian penghargaan bagi yang berprilaku baik. Konsekwensi berbeda dengan hukuman, menurut Ray Levi Ph.D (2002) ada dua perbedaan antara hukuman dan Konsekwensi


Pertama Konsekwensi memberikan anak pelajaran sedangkan hukuman jarang sekali memberikan pelajaran. Hukuman dapat mengakibatkan dendam dan bersikap kasar, sehingga menimbulkan hukuman lain. Sebaliknya konsekwensi mengajarkan perilaku yang baik pada anak karena menunjukkan perilaku yang benar sebagaimana yang anda inginkan, dengan cara kongkrit yang dipahami anak. ....
Kedua Hukuman disampaikan dengan cara marah-marah karena anak telah membuat sesuatu yang membuat anda marah. Tetapi konsekwensi disampaikan dengan rasa sedih dan empati Anda menunjukkan tanggung jawab ada dipundak anak.)1

Berbagai konsekwensi yang perlu dan patut di terapkan sebagaimana menurut Levy2
Konsekwensi Alam
Konsekwensi alami terjadi akibat langsung dari peristiwa yang terjadi secara alamiah. Contoh jika tidak makan kita akan lapar, jika tidak tidur keesokan harinya akan mengantuk dan sebagainya. Konsekwensi alami ini perlu dipahami murid-murid karena berkaitan langsung dengan kehidupan.
Konsekwensi Logis
Konsekwensi logis sering terjadi di masyarakat, jika tidak membayar listrik, listriknya diputus, jika merampok mendekam di penjara dan sebagainya.
Konsekwensi Relevan
Konsekwensi Relevan adalah konsekwensi yang secara langsung berkaitan dengan perilaku buruk anak dan membuat anak memperbaiki sikapnya. Konsekwensi dari perilaku buruk digantikan dengan perilaku baik yang diharapkan. Contoh seorang anak meninggalkan meja makan dengan piring kotor berserakan maka perilaku apa yang diharapkan jika anak berbuat demikian, “cuci piring.” Maka jika anak melakukan meninggalkan meja makan dengan piring kotor berserakan maka ia harus mencuci piring.
Tapi jika anak kedapatan merokok konsekwensi relevannya adalah menghirup udara bersih, tidak efektif!! Maka ada konsekwensi berkaitan yang cocok.
Konsekwensi berkaitan
Konsekwensi jika anak kedapat merokok misalnya maka suruh anak ke perpustakaan untuk membaca akan bahaya merokok ditambah misalnya membuat kliping atas bahaya-bahaya merokok.
Konsekweensi Signifikan
Konsekwensi Signifikan yaitu konsekwensi yang efektif terhadap anak, anak yang malas bergerak konsekwensi signifikan adalah menyuruh dia berolah raga.

Djauzak Ahmad dalam Riau Pos menekankan: “Tetapi kalau tetap melakukan, diberi hukuman sesuai dengan perbuatannya (Konsekwensi relevan – Penulis). Kalau misalnya anak mengotori lantai, maka disuruh ia untuk membersihkan lantai yang kotor tersebut. Kalau memecahkan kaca disuruh ia mengganti (Tidak Efektif: karena bagi siswa yang orang tuanya kaya akan mudah baginya untuk mengganti berulang-ulang sampai puluhan kali – penulis). Asal jangan hukuman yang memalukan seperti menggunduli kepala anak padahal ia cewek, seperti yang terjadi disebuah pesantren di Pekanbaru )3
Kalau menurut saya tidak mempermalukan karena anak tersebut memakai Jilbab, sedangkan laki-laki sudah biasa pemandangan kepala gundul, dipesantren, karena ada yang berpendapat potong rambut itu gundul, begitu menurut sunah nabi, mulai kiyai sampai ustad-ustadnya semua berbuat demikian.

Kalau anak memainkan senjata tajam hukumannya tidak dibiarkan sampai anak terluka, Jika memanjat tinggi jangan tunggu sampai anak jatuh. Ini penerapan konsekwensi yang salah karena berakibat fatal. Konsekwensi dengan berakibat fatal memang harus dihindari, seperti perkelahian harus dilerai, kebut-kebutan harus dilarang, jangan dibiarkan saja, tetapi jika terjadi kecelakaan akibat kebut-kebutan anak mendapat pelajaran, tapi anak tidak boleh dikasih tahu akan pelajaran dari konsekwensi dari yang telah ia perbuat biarkan anak yang menyipulkan sendiri.

Kalau mengajarkan dan mendidik anak dengan menerapkan konsekwensi maka kita dapat menghindari penggunaan kekerasan dalam pembelajaran anak didik di sekolah.
Konsekwensi dapat berupa strap didepan kelas atau konsekwensi seperti yang telah diterangkan diatas. Sekedar Strap, berdiri diluar kelas, menyuruh anak membersihkan lantai, membersihkan WC, dan sebagainya tidaklah disebut sebagai kekerasan dalam rangka atau maksud mendidik. Kalau yang disebut kekerasan terhadap anak-anak itu tidak bermaksud mendidik, kejam dan keji terhadap anak-anak, tanpa belas kasihan sedikitpun. Adapun yang dimaksud kekeran menurut UU Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002 terdapat dalam pasal 13 ayat 1:

Pasal 13 ayat: 1.Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;

d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.


Pejelasan dari butir d ayat 1 tersebut adalah:
Perlakuan yang kejam, misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan peng¬aniayaan, misalnya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.4




__________________
  1. Levy, Ray, Ph.D. et al , 2002, “Manfaat Konsekwensi”, Cara Membesarkan Anak Yang Suka Melawan Tanpa Harus Hilang Kesabaran,, Jakarta: Gramedia. halaman 131
  2. Levy Ray, Ph.D., 2002, ibid., halaman 132 – 138.
  3. Djauzak Ahmad dalam Koran Riau Pos, 21, Februari 2008, “Kekeran Pendidikan Dilarang Sejak Dulu”, halaman 35.



Baca selengkapnya ...

Jumat, 27 Maret 2009

Kekerasan Di Sekolah?


Kekerasan disekolah, terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa guru berbuat kekerasan pada muridnya. Guru memukul ada maksud mendidik, dan pukulan guru pada umumnya bukan dapat melukai, atau kerusakan fisik maupun mental anak. Itulah bedanya dengan kekerasan. Kekerasan adalah berbuat kejam tanpa belas kasihan, dan juga tanpa maksud mendidik.

Dengan adanya undang-undang perlindungan anak ini perlu guru-guru mencari alternatif pendidikan kedisiplinan dengan cara yang lebih elegan, lebih lembut, lebih sopan, lebih mengena, lebih efektif. Pendidikan dengan cara pemberian konsekwensi, bukan hukuman, misalnya, atau dengan cara lain, bukan dengan pukulan. Pukulan, bentak-bentak, marah-marah, memang efektif sementara untuk menenangkan siswa, tapi tidak berlangsung lama, perilaku yang sama akan terulang lagi dan lagi. Efek negatif dari menggunakan bentakan-bentakan, marah-marah, pukulan adalah timbul keributan, pertengkaran dan benturan fisik tidak terhindarkan.

Banyak dari kalangan pendidikan termasuk guru tidak mengerti bagaimana caranya menangani anak yang bandel, anak yang bermasalah, anak yang pelawan, tidak tahu sopan santun, tidak mau tahu tata tertib dan peraturan sekolah. Sehingga mereka hanya meniru apa yang dilakukan gurunya dulu ketika ia masa sekolah dulu, dan kemudian melakukan coba-coba kecil-kecilan, kalau berhasil caranya maka akan terapkan, atau jadi guru penyabar, yang tingkah laku muridnya yang semakin menjadi-jadi. Atau akan jadi guru yang pemarah, mengunakan cara-cara “kekerasan” dan sebagainya, yang sebenarnya guru sudah kewalahan mencari cara menghadapi murid-murid yang kian lama kian menjadi-jadi ini, akhirnya tindak “kekerasanlah” yang katanya terjadi.

Guru yang lembek, tidak memberikan konsekwensi pada murid mengakibatkan murid tidak tahu mana yang benar mana yang salah. Setiap tindakan yang ia perbuat baik benar maupun salah selalu dicari alasan pembenarannya. Oleh sebab itu sampai kapanpun murid tidak akan pernah tahu bahwa perbuatannya salah kalau tidak ada menyatakan salah, atau mengajarinya bahwa perbuatannya itu adalah salah. Dan guru-guru lembek selalu jadi korban olok-olokan murid yang bandel. Sabaar!

Tidak tertutup kemungkinan anak yang bandel jika diajari terus-menerus dan dilakukan dengan cara yang elegan, lemah lembut, dan tidak kasar, anak akan dapat berubah, merubah perilaku jeleknya ke perilaku baik. Dengan cara anak diajarkan konsekwensi yang harus ia terima disebabkan oleh perbuatannya.

Metode mengajar sekarang yang diberikan kebebasan bagi murid-murid untuk menentukan sendiri cara belajarnya, dan diperbolehkan belajar sambil bermain, bukan berarti membiarkan anak berbuat tidak disiplin, anti sosial, dan mengganggu proses belajar mengajar. Metode belajar Quantum Teaching sekarang memberikan kebebasan bagi guru dan murid-murid untuk belajar dengan berbagai cara yang menyenangkan seperti permainan, observasi ala anak-anak, bermain peran, berkunjung ketempat yang sesuai dengan pelajaran dan lain sebagainya. Tetapi satu hal, yang tidak boleh dilupakan bagi kita semua adalah metode pengajaran seperti ini tidak dapat diterapkan jika delapan prinsip Quantum Teaching tidak dipahami benar-benar oleh murid-murid, salah satunya adalah konsekwensi. Murid tidak dapat mengikuti pelajaran dan guru tidak dapat melaksanakan metode ini jika murid tidak konsekwen. Jujur, konsekwen, bertanggung jawab, dan lain-lainnya, menjadi prinsip Quantum Teaching.

Metode Quantum Teaching yang menerapkan teknik mengajar tanpa marah-marah dan menyenangkan ini dapat dilakukan jika murid konsekwen untuk belajar, bukan bermain. walaupun pelajaran yang berikan sambil bermain. Dalam buku Quantum Teaching dijelaskan bahwa:
Murid berhak belajar dan gurupun berhak mengajar tanpa gangguan dari murid yang tidak mengerti akan konsekwensi belajar.
Inilah inti dari metode belajar Quantum Teaching itu: Murid boleh belajar dengan bermain dan metode yang menyenangkan tetapi konsekwensi dari murid yang tidak mau belajar tetap dilaksanakan. Banyak sekolah yang katanya menerapkan metode Quantum Teaching tetapi pelaksanaan di dalam sekolahnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ada sekolah dasar modern yang dibuat oleh yayasan besar dan terkenal, katanya memakai metode Quantum Teaching tetapi pengajaran didalamnya hanya permainan dan permainan tanpa ada aturan yang jelas, anak-anak yang membuat sekehendak hati dibiarkan, gurupun mengikuti kehendak anak, akhirnya kwalitas pelajaran anak jadi bobrok, kelakuan anak jadi bobrok, laporan setiap tiap bulan akan prestasi anak boleh dikata fiktif, karena mereka tidak mau mengakui dan terbongkar kejelekan sekolah bahwa anak murid sekolah yang katanya modern tersebut sebenarnya tidak tahu apa-apa. Mereka tidak berani ujian dengan memakai soal dari luar karena ada ketakutan nilai anak muridnya hancur, alasan yang dibuatnya adalah otonomi sekolah. Jika Metodenya bagus, hasilnya tentu bagus, sehingga tidak perlu ada ketakutan bersaing dengan sekolah luar. Kenapa takut bersaing dengan sekolah tidak modren, tidak plus, dan lain-lain, yang biasa-biasa saja? Seharusnya sekolah Quantum inilah yang seharusnya lebih unggul. Ini dikarenakan tidak mengerti dengan cara belajar Quantum Teaching tersebut. Akibatnya sekolah biasa-biasapun lebih unggul dari sekolah yang katanya modren tersebut.

Baca selengkapnya ...

Rabu, 25 Maret 2009

Mengajar dengan Pengertian


Anak kecil penuh rasa ingin tahu itulah yang bagus, justru itu yang harus dikembangkan dan dibina bukan. Seperti orang dewasa waktu kecil dahulunya berlari-lari menunjukkan pada orang tuanya bahwa ia telah mendapat seekor belalang. Bagi orang tua belalang itu sudah biasa dan sering dilihat, tapi tidak bagi anak kecil. Baru kali itulah ia ada kesempatan melihat secara dekat dan langsung makhluk yang bernama belalang tersebut. Anak murid dalam suatu cerita di film Iran, seorang anak baru pindah ke sebuah desa di Iran dari negri yang cukup jauh Tanzania. Disekolah anak ini tidak konsentrasi belajar ketika guru sedang menerangkan pelajaran. Pandangan matanya selalu melihat keluar jendela. Terlihat tetes-tetesan hujan menerpa jendela kaca. Guru yang kesal pada si anak dengan nada sedikit marah bertanya pada si anak. " Apa yang kau lihat di luar?" Sianak dengan santainya menjawah dengan wajah yang berbinar-binar, "saya baru saja melihat hujan." Guru heran, hujan biasa saja turun di Iran, tetapi untunglah guru cepat mengerti dan bertanya lagi "Apakah kamu belum pernah melihat hujan sebelum ini?" "belum jawab murid tegas, di tempat tinggal saya dulu hujan turun lima tahun sekali." Maka guru memberi izin pada sianak untuk keluar ruangan kelas dan melihat sepuasnya hujan turun yang baru pertama sekali dilihatnya tersebut. Izin dari sang guru tersebut menjadi pengalaman berharga bagi murid tersebut yang tidak bisa ditandingi dengan pelajaran apapun dikelas.

Setelah Les mengaji anak murid ngaji saya berlarian seluruhnya dengan semangat kerumah temannya yang baru saja memelihara dua ekor kelinci lucu. Bagi saya gurunya kelinci adalah hal yang biasa saja tetapi tidak bagi anak murid ngaji usia SD yang saya ajar. Hal seperti ini guru sebaiknya fleksibel untuk memberikan kesempatan bagi anak untuk menerima pengalaman baru, melihat hewan baru, kejadian alam baru, dan sebagainya. Guru sebaiknya sensitif dalam hal ini karena dunia anak-anak berbeda dengan dunia orang dewasa dan guru harus mengerti dan menyelaminya.
Riski adalah murid Madrasah tempat saya mengajar. Anaknya pendiam, tetapi selalu terlibat masalah, seperti bolos pada jam pelajaran tertentu, tidak membuat tugas yang ditugaskan guru, sering cabut keluar sekolah, terlibat perkelahian, sengaja tidak mencatat atau tidak membawa buku catatan, dan sebagainya. Pada suatu ketika saya panggil anak itu kehadapan saya, yang sengaja tidak mau membuat tugas latihan yang saya tugaskan, malah asyik mengganggu teman-temannya, yang sedang belajar, saya tanyakan: "Mengapa kamu perlu datang kesekolah sedangkan kamu tidak mau belajar? Sedangkan minggu lalu sengaja cabut dari pelajaran saya? Anak itu terdiam, pertanyaan yang menghentak, tidak dapat alasan yang cukup kuat untuk menjawab. "Tidak sadarkah kamu orang tuamu susah payah dengan pengorbanan uang yang banyak untuk dapat supaya kamu bisa sekolah?" Dengan linangan air mata ia menangis sambil menjawab: "saya selalu ditinggal sendiri di kedai tanpa banyak perhatian orang tua." Anak yang terkenal bandel oleh guru-guru lain, dapat menagis bukan karena pukulan. "Seharusnya kamu bersyukur punya orang tua yang cukup berada dibanding teman-temanmu yang lain" Nasehatku. Saya suruh anak itu kembali kebangkunya untuk mengerjakan tugas yang saya berikan, anak itupun mengerjakan. Penangan anak dengan sedikit perhatian lebih, memberikan motivasi bagi anak untuk berbuat labih baik. Tanpa kekerasan, tanpa, marah-marah.

Baca selengkapnya ...

Rabu, 25 Februari 2009

Harga Diri Guru dan Pendidikan Moral Anak


Laporan dari wartawan Riau Pos Fedli Azis (fedli-azis@riaupos.co.id) Sabtu 21 Februari 2008, di SMAN 2 Pekanbaru “ Bukan untuk membela diri, tapi memang benar bahwa sikap murid di lingkungan sekolah akhir-akhir ini makin menjadi-jadi. Selain berani melawan dengan melontarkan kata-kata kasar, mereka juga berani merokok dalam lingkungan sekolah, bahkan dalam kelas.” “...Tegurran keras yang dilakukan guru justru menjadi lelucon bagi sesama siswa.” “ Banyak murid yang berani melawan dengan kata-kata kasar, bahkan mencoret dinding sekolah untuk menghina guru dengan gambar-gambar yang tidak senonoh. Pihak sekolah mengalah dengan mengecet dinding itu kembali, tapi hanya selang beberapa hari saja, coretan yang baru dibuat di dinding yang sama.”

Memang ada kelainan sikap dan perilaku remaja dan anak-anak yang sepertinya tidak wajar dilakukan seorang anak dan remaja. Seperti melawan guru dengan kata-kata kasar di sekolah, mungkin di rumah hal yang sama terjadi pada orang tuanya. Akan jadi apa anak remaja kelak, jika kelakuan anak seperti itu? Tidak ada alasan sebenarnya bagi anak untuk berbuat demikian terhadap orang yang membimbingnya untuk hidup masa depannya, seperti guru dan orang tua. Orang tua yang dengan ikhlas berkorban membiayai hidup, menyekolahkannya yang juga pakai biaya mahal, yang kemudian direspon oleh anak yang tidak peduli pada sekolah, sering cabut, melawan guru yang juga dengan ikhlas membimbingnya, mengarahkannya, memberikannya pengetahuan, yang pasti sebenarnya untuk murid itu sendiri, tidak ada keuntungannya bagi guru secara langsung maupun tidak, jika anak itu berhasil kelak. Paling-paling jika anak itu baik akan mengabdi, membantu orang tuanya, guru segera dilupakan. Guru tidak ada hubungan apa-apa bagi murid kecuali seorang guru yang mengajar di tempat murid itu sekolah. Ya, tapi kenapa seorang murid berlaku tidak sopan pada guru? Guru sebenarnya sekarang jadi korban anak-anak bandel, sementara guru mau melakukan tugasnya demi mengharapkan gaji yang tidak seberapa.

Anak dididik dari keluarga. Anak yang terlalu dimanja, segala hal yang diingininya selalu ia dapatkan dengan mudah, anak selalu yang memegang kendali, dengan kata lain anaklah yang mengendalikan orang tua di rumah. Anak seperti ini tumbuh jadi anak yang pelawan. Kebiasaan meronta-ronta jika keinginannya tidak dikabulkan, dan akhirnya dikabulkan, tumbuh menjadi melawan jika keinginannya tidak dikabulkan. Ketika remaja ego anak sedang meningkat, merasa telah dewasa, merasa lebih berkuasa, anak manja yang segala keinginannya terkabul, tumbuh dan berkembang menjadi anak yang semaunya, tidak peduli peraturan sekolah, tidak pernah merasa bersalah, segala tindakkannya selalu dianggap benar, melawan pada guru, melawan pada orang tua dan orang lain semisalnya. Mereka tidak akan pernah menghargai jasa orang tua, guru dan juga orang lain terhadapnya. Anak-anak yang bermasalah seperti ini perlu penanganan yang lebih serius.

Anak-anak pemberontak, atau memang sudah kebiasaan melawan pada orang tua. Saya tidak setuju jika kenakalan remaja karena faktor eksternal – faktor yang berada diluar diri remaja sendiri – seperti: Pendapat seorang Guru SMAN 2 Yuliadi: “Dipihak lain teguran-teguran guru juga kadang terlalu kasar dan tidak mencerminkan sebagai seorang orang tua kedua dilingkungan sekolah. Sehingga siswa yang diperlakukan seperti itu tidak menerimanya dan melakukan pembalasan dengan cara-cara pemberontakan ala anak muda. Ini pula yang menyebabkan kekerasan tidak terhindarkan dan guru dicap sebagai orang jahat yang tidak memiliki etika dalam mengayomi siswa-siswinya.” – Yuliadi dalam Riau Pos Sabtu 21/2 2009.
Mungkin itu kesimpulan Yuliadi atas analisa singkatnya, tetapi saya menemui kasus lain di tempat saya mengajar, baru tiga bulan saya mengajar di MTS dan saya tidak mengajar kelas tiga. Saya belum pernah sama sekali masuk mengajar, berbicara pada anak kelas tiga ketika itu, apa lagi mengucpakan kata-kata kasar. Tetapi apalah terjadi ketika saya masuk disuruh untuk menanyakan data-data murid kelas tiga guna keperluan UN, pertanyaab saya dan permintaan saya untuk melengkapi data-data tidak dipedulikan bahkan saya jadi bahan perolok-olokan, kata kasar dan lelocon murahan pun muncul. Saya sabar dan pergi meninggalkan kelas tanpa hasil. Menurut pengamatan saya sekolah yang baru saya tempati salah kaprah dalam membina anak-anak (kalau memang bisa di bina – kalau tidak bisa dibina dibinasakan diberhentikan). Kesimpulan yang saya dapati faktor internal dan latar belakang masa kecil remaja, sangat berperanan besar dalam pembentukan perilaku anak masa remaja. Perlu ada pengendalian anak, anak harus dididik bahwa dia dibawah kendali guru dan kepala sekolah, bukan sebaliknya anak merasa dapat mengendalikan kepala sekolah sekaligus guru-guruya. Anak-anak harus ditanamkan bahwa semua perbuatan ada konsekwensinya, dan semua itu mengendalikannya, anak murid dibawah kendali Kepala Sekolah dan Guru-guru semuanya.

Hal ini harus ditanamkan sedini mungkin pada anak, karena anak usia tiga tahun saja sudah merasa dapat mengendalikan orang tuanya, maka ia akan berkembang menjadi anak yang mengendalikan orang tuanya segala sesuatu harus dituruti, kalau tidak ada langkah-langkah yang telah diketahui anak dari berbagai percobaannya, sampai orang tua mengabulkan permintaanya – keinginannya. Contohnya anak minta dibelikan coklat, orang tua mengabulkan. Lain waktu Anak minta belikan coklat orang tua tidak mengabulkan, anak nangis, akhirnya dikabulkan. Berarti anak menyimpulkan kalau permintaan tidak dikabulkan harus nangis. Lain waktu lagi anak minta dibelikan coklat orang tua tidak mengabulkan, anak menangis, tidak dikabulkan, anak menangis lebih keras, dikabulkan. Kesimpulan anak nangis harus lebih keras jika ingin dikabulkan. Berulang terus seperti itu dengan eskalasi yang selalu meningkat akhirnya anak minta dibelikan coklat dengan anak menangis meronta, guling-guling dilantai dan ditanah untuk akhirnya dikabulkan dibelikan coklat. Anak berhasil mengendalikan orang tua.

Anak yang salah asuhan seperti ini, tumbuh dan berkembang menjadi tidak pernah tahu mana yang benar mana yang salah, tidak pernah tahu dan peduli dengan peraturan, karena peraturan hanya ada pada dirinya, dirinyalah yang berhak membuat peraturan. Setelah mendekati Dewasa anak terseebut jadi Preman. Maka sampai terdengarlah berita di Riau Pos seorang Serda Polisi di tikam preman.
Inilah barangkali kesalahan didikan yg terjadi sejak kecil, anak yang tidak pernah dididik disiplin, mengabulkan segala permintaanya, tidak tahu peraturan, tidak pernah diajarkan konsekwensi setiap perbuatan yang ia lakukan.

Hasil dari data-data sementara yang diperoleh kawan-kawan sesama guru yang mejabat wali kelas setelah di survei kerumah (ini bukan hasil penelitian yang dapat dijadikan dasar – untuk lebih akuratnya perlu diteliti lebih seksama lagi tetapi sudah dapat dijadikan gambaran) orang yang bermasalah disekolah, seperti sering cabut, bolos, kata-kata kasar, anti sosial dan sebagainya ternyata dirumahnya juga bermasalah. 5 dari sepuluh anak bermasalah keluarganya. Banyak anak bermasalah berasal dari keluarga broken home, (Orang tua selingkuh, perceraian, dan sebagainya) tiga diantaranya bermasalah dengan lingkungan yang tidak kondusif, tinggal ditempat pelacuran, ada yang sebagai menjaga gerbang (ampang-ampang) komplek pelacuran. 2 diantaranya kurang perhatian orang tua atau orang tua tidak begitu peduli dengannya lagi, pelarian remaja dari rumah, 1 orang ikut-ikutan.

Baca selengkapnya ...

Sabtu, 14 Februari 2009

Perkembangan Remaja


Anak Usia Remaja anak usia pancaroba. Pada usia ini ia mencari jati dirinya. Lepas dari usia anak-anak ke usia remaja timbul sedikit kegoncangan (shock). Shock adalah istilah yang sering digunakan sehari-hari. Pernah dengar sok pintar, sok kaya, sok akrab, sok bagak, sok-sok-an, dan sebagainya berasal dari kata yang sama yaitu shock. Artinya gambaran suatu gejala yang dialami akibat karena pengaruh yang terlalu kuat sehingga timbul pertentangan batin. Kegoncangan yang terjadi karena perkembangan kejiwaan anak pada usia ini tidak sesuai denga pertumbuhan fisik dan beban tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Contoh dahulu ketika SD si anak tidak pernah lepas dari bantuan orang tua, kepercayaan tidak diberikan. Setelah anak pada usia SMP anak bantuan orang tua sudah mulai berkurang. uang jajan sudah mulai jarang diberikan, walau anak butuh kadang segan untuk meminta karena sudah merasa besar. Sementara dulu tidak pernah dikasih kepercayaan untuk membawa motor sendiri, sekarang sudah diperbolehkan membawa motor menjemput adik-adiknya pulang sekolah.

Ditinjau dari pertumbuhan fisik usia remaja biasa disebut usia puber. Puber artinya pertumbuhan bulu. Ada bagian-bagian tubuh tertentu yang sudah ditumbuhi bulu (rambut). Sehingga dari segi fisik pertumbuhan pada usia remaja ini sudah mulai sempurna. Bagi wanita pada usia ini mulai mengalami haid (Menstruasi) yang menandakan kematangan bagian reproduksi wanita sebagaimana wanita dewasa secara normal. Peningkatan status dari anak-anak menjadi remaja ini, anak-anak mengalami perkembangan psikologi yang hebat, pada saat mereka belajar cara menempatkan diri menjadi seorang anak remaja yang dapat dibanggakan. Mencari identitas diri. Mereka mencari nilai-nilai sendiri. Cendrung mengelompok, menjadikan kelompoknya menjadi kelompok acuan. Nilai-nilai kelompok dianggap lebih dari nilai-nilai lain yang diluar kelompoknya. Nilai-nilai yang ada disekolah, yang ada dirumah, yang ada dimasyarakat tidak jadi patokan. Dalam keadaan ini ada buku yang berjudul "bagaimana menghindari anak remaja terlibat masalah" yang ketika itu penulis buku tersebut menekankan dengan mengatakan bahwa
pada usia ini remaja sebenarnya mengharapkan betul bahwa orang tua sayang padanya, mereka senang mengetahui jika orang tua, orang-orang dewasa sekelilingnya sayang padanya.

Tetapi prilaku remaja yang sepertinya meng isolasi kan diri dari yang bukan kelompoknya menyebabkan banyak remaja terlibat masalah bertentangan dengan orang tua. Orang tua menganggap anaknya berubah jadi pelawan, bukan Pahlawan.
Anak-anak pada usia ini mereka bangga akan jadi dewasa, kuat, sehingga sepertinya hukum rimba berlaku siapa yang kuat dia yang hebat. Pada hal anak usia ini harga diri anak adalah diatas segala-galanya. Sehingga sering antara anak-anak remaja sering terjadi perkelahian. Situasi ini harus dihindari oleh orang-orang dewasa sekitarnya demi melindungi anak-anak, karena anak-anak tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dalam situasi seperti itu, akibatnya bisa fatal. Guru harus melerai perkelahian anak-anak jika terjadi di sekolah. Pelcehan terhadap harga diri sering menjadi penyebab timbulnya perkelahian. Sebabnya kadang sepele, misalnya karena temannya dengan sengaja memegang telinganya maka seorang remaja biasanya ada bahasa simbol, sehingga ketika temannya dengan sengaja memegang telinganya simbolnya berarti pelecehan terhadap harga diri orang yang telah berani memengang telinganya.
Dalam usaha mencari identitas diri anak-anak sering keliru persepsi. Seperti Kuat dan berkuasa identik dengan Dewasa. Berbuat seperti orang dewasa dianggap dewasa. Seperti merokok adalah kegiatan yang dilakukan orang dewasa banyak dilakukan remaja karena beranggapan orang merokok adalah orang dewasa. Tugas guru-guru dan orang tua merubah persepsi remaja ini agar dapat menimbulkan persepsi yang benar terhadap arti dewasa tersebut. Merubah kebanggaan pada diri sendiri dan nilai-nilai kelompok dirubah pada kebanggaan pada prestasi dan nilai-nilai baik, nilai-nilai keagamaan yang menyelamatkan manusia dunia dan akhirat.

Baca selengkapnya ...