Rabu, 25 Februari 2009

Harga Diri Guru dan Pendidikan Moral Anak


Laporan dari wartawan Riau Pos Fedli Azis (fedli-azis@riaupos.co.id) Sabtu 21 Februari 2008, di SMAN 2 Pekanbaru “ Bukan untuk membela diri, tapi memang benar bahwa sikap murid di lingkungan sekolah akhir-akhir ini makin menjadi-jadi. Selain berani melawan dengan melontarkan kata-kata kasar, mereka juga berani merokok dalam lingkungan sekolah, bahkan dalam kelas.” “...Tegurran keras yang dilakukan guru justru menjadi lelucon bagi sesama siswa.” “ Banyak murid yang berani melawan dengan kata-kata kasar, bahkan mencoret dinding sekolah untuk menghina guru dengan gambar-gambar yang tidak senonoh. Pihak sekolah mengalah dengan mengecet dinding itu kembali, tapi hanya selang beberapa hari saja, coretan yang baru dibuat di dinding yang sama.”

Memang ada kelainan sikap dan perilaku remaja dan anak-anak yang sepertinya tidak wajar dilakukan seorang anak dan remaja. Seperti melawan guru dengan kata-kata kasar di sekolah, mungkin di rumah hal yang sama terjadi pada orang tuanya. Akan jadi apa anak remaja kelak, jika kelakuan anak seperti itu? Tidak ada alasan sebenarnya bagi anak untuk berbuat demikian terhadap orang yang membimbingnya untuk hidup masa depannya, seperti guru dan orang tua. Orang tua yang dengan ikhlas berkorban membiayai hidup, menyekolahkannya yang juga pakai biaya mahal, yang kemudian direspon oleh anak yang tidak peduli pada sekolah, sering cabut, melawan guru yang juga dengan ikhlas membimbingnya, mengarahkannya, memberikannya pengetahuan, yang pasti sebenarnya untuk murid itu sendiri, tidak ada keuntungannya bagi guru secara langsung maupun tidak, jika anak itu berhasil kelak. Paling-paling jika anak itu baik akan mengabdi, membantu orang tuanya, guru segera dilupakan. Guru tidak ada hubungan apa-apa bagi murid kecuali seorang guru yang mengajar di tempat murid itu sekolah. Ya, tapi kenapa seorang murid berlaku tidak sopan pada guru? Guru sebenarnya sekarang jadi korban anak-anak bandel, sementara guru mau melakukan tugasnya demi mengharapkan gaji yang tidak seberapa.

Anak dididik dari keluarga. Anak yang terlalu dimanja, segala hal yang diingininya selalu ia dapatkan dengan mudah, anak selalu yang memegang kendali, dengan kata lain anaklah yang mengendalikan orang tua di rumah. Anak seperti ini tumbuh jadi anak yang pelawan. Kebiasaan meronta-ronta jika keinginannya tidak dikabulkan, dan akhirnya dikabulkan, tumbuh menjadi melawan jika keinginannya tidak dikabulkan. Ketika remaja ego anak sedang meningkat, merasa telah dewasa, merasa lebih berkuasa, anak manja yang segala keinginannya terkabul, tumbuh dan berkembang menjadi anak yang semaunya, tidak peduli peraturan sekolah, tidak pernah merasa bersalah, segala tindakkannya selalu dianggap benar, melawan pada guru, melawan pada orang tua dan orang lain semisalnya. Mereka tidak akan pernah menghargai jasa orang tua, guru dan juga orang lain terhadapnya. Anak-anak yang bermasalah seperti ini perlu penanganan yang lebih serius.

Anak-anak pemberontak, atau memang sudah kebiasaan melawan pada orang tua. Saya tidak setuju jika kenakalan remaja karena faktor eksternal – faktor yang berada diluar diri remaja sendiri – seperti: Pendapat seorang Guru SMAN 2 Yuliadi: “Dipihak lain teguran-teguran guru juga kadang terlalu kasar dan tidak mencerminkan sebagai seorang orang tua kedua dilingkungan sekolah. Sehingga siswa yang diperlakukan seperti itu tidak menerimanya dan melakukan pembalasan dengan cara-cara pemberontakan ala anak muda. Ini pula yang menyebabkan kekerasan tidak terhindarkan dan guru dicap sebagai orang jahat yang tidak memiliki etika dalam mengayomi siswa-siswinya.” – Yuliadi dalam Riau Pos Sabtu 21/2 2009.
Mungkin itu kesimpulan Yuliadi atas analisa singkatnya, tetapi saya menemui kasus lain di tempat saya mengajar, baru tiga bulan saya mengajar di MTS dan saya tidak mengajar kelas tiga. Saya belum pernah sama sekali masuk mengajar, berbicara pada anak kelas tiga ketika itu, apa lagi mengucpakan kata-kata kasar. Tetapi apalah terjadi ketika saya masuk disuruh untuk menanyakan data-data murid kelas tiga guna keperluan UN, pertanyaab saya dan permintaan saya untuk melengkapi data-data tidak dipedulikan bahkan saya jadi bahan perolok-olokan, kata kasar dan lelocon murahan pun muncul. Saya sabar dan pergi meninggalkan kelas tanpa hasil. Menurut pengamatan saya sekolah yang baru saya tempati salah kaprah dalam membina anak-anak (kalau memang bisa di bina – kalau tidak bisa dibina dibinasakan diberhentikan). Kesimpulan yang saya dapati faktor internal dan latar belakang masa kecil remaja, sangat berperanan besar dalam pembentukan perilaku anak masa remaja. Perlu ada pengendalian anak, anak harus dididik bahwa dia dibawah kendali guru dan kepala sekolah, bukan sebaliknya anak merasa dapat mengendalikan kepala sekolah sekaligus guru-guruya. Anak-anak harus ditanamkan bahwa semua perbuatan ada konsekwensinya, dan semua itu mengendalikannya, anak murid dibawah kendali Kepala Sekolah dan Guru-guru semuanya.

Hal ini harus ditanamkan sedini mungkin pada anak, karena anak usia tiga tahun saja sudah merasa dapat mengendalikan orang tuanya, maka ia akan berkembang menjadi anak yang mengendalikan orang tuanya segala sesuatu harus dituruti, kalau tidak ada langkah-langkah yang telah diketahui anak dari berbagai percobaannya, sampai orang tua mengabulkan permintaanya – keinginannya. Contohnya anak minta dibelikan coklat, orang tua mengabulkan. Lain waktu Anak minta belikan coklat orang tua tidak mengabulkan, anak nangis, akhirnya dikabulkan. Berarti anak menyimpulkan kalau permintaan tidak dikabulkan harus nangis. Lain waktu lagi anak minta dibelikan coklat orang tua tidak mengabulkan, anak menangis, tidak dikabulkan, anak menangis lebih keras, dikabulkan. Kesimpulan anak nangis harus lebih keras jika ingin dikabulkan. Berulang terus seperti itu dengan eskalasi yang selalu meningkat akhirnya anak minta dibelikan coklat dengan anak menangis meronta, guling-guling dilantai dan ditanah untuk akhirnya dikabulkan dibelikan coklat. Anak berhasil mengendalikan orang tua.

Anak yang salah asuhan seperti ini, tumbuh dan berkembang menjadi tidak pernah tahu mana yang benar mana yang salah, tidak pernah tahu dan peduli dengan peraturan, karena peraturan hanya ada pada dirinya, dirinyalah yang berhak membuat peraturan. Setelah mendekati Dewasa anak terseebut jadi Preman. Maka sampai terdengarlah berita di Riau Pos seorang Serda Polisi di tikam preman.
Inilah barangkali kesalahan didikan yg terjadi sejak kecil, anak yang tidak pernah dididik disiplin, mengabulkan segala permintaanya, tidak tahu peraturan, tidak pernah diajarkan konsekwensi setiap perbuatan yang ia lakukan.

Hasil dari data-data sementara yang diperoleh kawan-kawan sesama guru yang mejabat wali kelas setelah di survei kerumah (ini bukan hasil penelitian yang dapat dijadikan dasar – untuk lebih akuratnya perlu diteliti lebih seksama lagi tetapi sudah dapat dijadikan gambaran) orang yang bermasalah disekolah, seperti sering cabut, bolos, kata-kata kasar, anti sosial dan sebagainya ternyata dirumahnya juga bermasalah. 5 dari sepuluh anak bermasalah keluarganya. Banyak anak bermasalah berasal dari keluarga broken home, (Orang tua selingkuh, perceraian, dan sebagainya) tiga diantaranya bermasalah dengan lingkungan yang tidak kondusif, tinggal ditempat pelacuran, ada yang sebagai menjaga gerbang (ampang-ampang) komplek pelacuran. 2 diantaranya kurang perhatian orang tua atau orang tua tidak begitu peduli dengannya lagi, pelarian remaja dari rumah, 1 orang ikut-ikutan.

Baca selengkapnya ...

Sabtu, 14 Februari 2009

Perkembangan Remaja


Anak Usia Remaja anak usia pancaroba. Pada usia ini ia mencari jati dirinya. Lepas dari usia anak-anak ke usia remaja timbul sedikit kegoncangan (shock). Shock adalah istilah yang sering digunakan sehari-hari. Pernah dengar sok pintar, sok kaya, sok akrab, sok bagak, sok-sok-an, dan sebagainya berasal dari kata yang sama yaitu shock. Artinya gambaran suatu gejala yang dialami akibat karena pengaruh yang terlalu kuat sehingga timbul pertentangan batin. Kegoncangan yang terjadi karena perkembangan kejiwaan anak pada usia ini tidak sesuai denga pertumbuhan fisik dan beban tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Contoh dahulu ketika SD si anak tidak pernah lepas dari bantuan orang tua, kepercayaan tidak diberikan. Setelah anak pada usia SMP anak bantuan orang tua sudah mulai berkurang. uang jajan sudah mulai jarang diberikan, walau anak butuh kadang segan untuk meminta karena sudah merasa besar. Sementara dulu tidak pernah dikasih kepercayaan untuk membawa motor sendiri, sekarang sudah diperbolehkan membawa motor menjemput adik-adiknya pulang sekolah.

Ditinjau dari pertumbuhan fisik usia remaja biasa disebut usia puber. Puber artinya pertumbuhan bulu. Ada bagian-bagian tubuh tertentu yang sudah ditumbuhi bulu (rambut). Sehingga dari segi fisik pertumbuhan pada usia remaja ini sudah mulai sempurna. Bagi wanita pada usia ini mulai mengalami haid (Menstruasi) yang menandakan kematangan bagian reproduksi wanita sebagaimana wanita dewasa secara normal. Peningkatan status dari anak-anak menjadi remaja ini, anak-anak mengalami perkembangan psikologi yang hebat, pada saat mereka belajar cara menempatkan diri menjadi seorang anak remaja yang dapat dibanggakan. Mencari identitas diri. Mereka mencari nilai-nilai sendiri. Cendrung mengelompok, menjadikan kelompoknya menjadi kelompok acuan. Nilai-nilai kelompok dianggap lebih dari nilai-nilai lain yang diluar kelompoknya. Nilai-nilai yang ada disekolah, yang ada dirumah, yang ada dimasyarakat tidak jadi patokan. Dalam keadaan ini ada buku yang berjudul "bagaimana menghindari anak remaja terlibat masalah" yang ketika itu penulis buku tersebut menekankan dengan mengatakan bahwa
pada usia ini remaja sebenarnya mengharapkan betul bahwa orang tua sayang padanya, mereka senang mengetahui jika orang tua, orang-orang dewasa sekelilingnya sayang padanya.

Tetapi prilaku remaja yang sepertinya meng isolasi kan diri dari yang bukan kelompoknya menyebabkan banyak remaja terlibat masalah bertentangan dengan orang tua. Orang tua menganggap anaknya berubah jadi pelawan, bukan Pahlawan.
Anak-anak pada usia ini mereka bangga akan jadi dewasa, kuat, sehingga sepertinya hukum rimba berlaku siapa yang kuat dia yang hebat. Pada hal anak usia ini harga diri anak adalah diatas segala-galanya. Sehingga sering antara anak-anak remaja sering terjadi perkelahian. Situasi ini harus dihindari oleh orang-orang dewasa sekitarnya demi melindungi anak-anak, karena anak-anak tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dalam situasi seperti itu, akibatnya bisa fatal. Guru harus melerai perkelahian anak-anak jika terjadi di sekolah. Pelcehan terhadap harga diri sering menjadi penyebab timbulnya perkelahian. Sebabnya kadang sepele, misalnya karena temannya dengan sengaja memegang telinganya maka seorang remaja biasanya ada bahasa simbol, sehingga ketika temannya dengan sengaja memegang telinganya simbolnya berarti pelecehan terhadap harga diri orang yang telah berani memengang telinganya.
Dalam usaha mencari identitas diri anak-anak sering keliru persepsi. Seperti Kuat dan berkuasa identik dengan Dewasa. Berbuat seperti orang dewasa dianggap dewasa. Seperti merokok adalah kegiatan yang dilakukan orang dewasa banyak dilakukan remaja karena beranggapan orang merokok adalah orang dewasa. Tugas guru-guru dan orang tua merubah persepsi remaja ini agar dapat menimbulkan persepsi yang benar terhadap arti dewasa tersebut. Merubah kebanggaan pada diri sendiri dan nilai-nilai kelompok dirubah pada kebanggaan pada prestasi dan nilai-nilai baik, nilai-nilai keagamaan yang menyelamatkan manusia dunia dan akhirat.

Baca selengkapnya ...